Home » Tips & Trick » Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Salam, Quipperian! Selamat Hari Pendidikan Nasional 2018! Apa yang Quipperian rasakan di perayaan hari Pendidikan Nasional 2018 ini? Semoga penuh rasa syukur, dan terutama berlimpah semangat dan antusiasme untuk terus menjadi seorang pelajar sepanjang hayat.

Sebagaimana kita ketahui bersama Hari Pendidikan Nasional dirayakan setiap tanggal 2 Mei sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara. Beliau yang dianugerahi gelar Bapak Pendidikan Indonesia lahir pada 2 Mei 1889. Namun pernahkah sobat-sobat Quipperian bertanya lebih lanjut sebenarnya apa yang beliau lakukan hingga beliau dianugerahi gelar tersebut? Hingga tanggal lahirnya kita rayakan bersama sebagai Hari Pendidikan Nasional? Hingga filosofi Tut Wuri Handayani yang beliau gubah dijadikan semboyan Pendidikan Nasional

Apakah semata karena beliau mendirikan sekolah nasional pertama di era penjajahan? Atau karena sekolah tersebut berdiri hingga saat ini dan sempat mewujud di berbagai daerah di Indonesia? Atau karena beliau adalah Menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia? Tentu lebih dari itu. Beliau menjadi Bapak Pendidikan Nasional karena beliau orang pertama yang merumuskan kerangka dasar pedagogi dan tata kelola sekolah yang bernafas dan bersemangat nasional, atau saat itu disebut Nusantara. Kerangka tersebut terekam ke dalam koleksi tulisannya yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka – I. Pendidikan dan Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka – II. Kebudayaan

Kerangka Dasar Pedagogi

Pedagogi atau filsafat pendidikan KHD secara singkat dapat ditampung oleh sebuah frase, konstruktifis experensial. Akar katanya tentu saja dari construction atau rancang-bangun dan experience atau pengalaman. Bagi KHD mengalami langsung sesuatu hal adalah aktifitas belajar paling hakiki. Ketika murid belajar mengenai ilmu alam berarti mereka perlu dipaparkan secara langsung kepada fenomena alamiah yang sedang dipelajari. Jika pemaparan langsung dengan partisipasi aktif pelajar tidak memungkinkan karena factor keamanan atau lain hal, paling tidak murid secara nyata dapat menyaksikan fenomena alam tersebut. Dasar konseptual yang sama juga diterapkan kepada cabang ilmu lain, sosial-humaniora, matematika, dan bahkan seni budaya. Nah berbagai pengalaman langsung itu terjalin menjadi sebuah rancang-bangun pengetahuan atau pemahaman

Lebih lanjut terkait seni budaya KHD juga menjadikan ranah ini sebagai senjata utama pendidikan. Teman-teman Quipperian bisa bayangkan kenapa? Begini, jika pengalaman menjadi pintu gerbang utama murid untuk mencerap pengetahuan maka jalan menuju pintu tersebut adalah perasaan. Murid yang belajar dengan perasaan bahagia dan merdeka ibarat melalui jalan mulus menuju pintu gerbang, ia akan tiba di pintu gerbang dengan prima dan siap mencerap berbagai pengetahuan baru. Nah, bayangkan jika kita hendak belajar namun mengalami perasaan takut, lelah, cemas lebih dulu? Ibarat melalui jalan rusak dan menakutkan ketika tiba waktunya belajar justru keadaan psikis-kognitif sudah terlalu lelah akibat perasaan negatif sebelumnya. Nah! Di sinilah masuk seni budaya. Semua orang, anak-anak, remaja, orang tua menikmati kegiatan seni. Seni budaya dapat menjadi pintu masuk pengetahuan dan pemahaman, karena sebelumnya perasaan para pelajar telah dibahagiakan dan dilegakan lebih dahulu.

Di dalam sekolah bernafaskan konstruksionalis eksperensial semacam ini peran guru bergeser dari pusat ilmu pengetahuan menjadi mediator. Guru berperan besar di dalam merancang tujuan belajar secara konseptual, keterampilan, psikis, dan sosial. Selain itu guru berperan penting di dalam merancang ragam aktifitas atau kegiatan belajar untuk mencapai berbagai tujuan belajar di atas. Dan terutama yang paling penting, guru juga berperan penting memancing atau dalam kerangka berpikir Socrates, membidani lahirnya swa-refleksi murid atas setiap kegiatan belajar yang dialaminya. Dari praktik inilah lahir semboyan Tut Wuri Handayani, atau dari belakang ikut memberi dorongan untuk maju.

Kerangka Dasar Tata Kelola

Sebagaimana paradigma pendidikannya yang berpulang kepada kemerdekaan dan kemandirian pelaku belajar, maka di dalam tata kelola pendidikan atau khususnya persekolahan KHD juga menekankan pentingnya kemerdekaan dan kemandirian sekolah. Tentunya kemerdekaan dan kemandirian ini berguna untuk menjaga sasaran dan semangat sekolah murni demi perkembangan murid-muridnya sebagai dan menjadi manusia seutuhnya.

Contoh kemerdekaan dan kemandirian ini dipaparkan beliau dalam praktik antara lain perekrutan guru, pengelolaan ruang persekolahan, dan pengelolaan anggaran pendidikan. Taman Siswa saat masih secara langsung dipegang KHD merekrut guru dari organisasi pergerakan kepemudaan. Hal ini menyebabkan semangat dan nafas nasionalisme terasa kuat, karena para calon guru telah merasakan asam garam gerakan pendukung kemerdekaan.

Sementara itu beliau sangat terbuka mengenai rancang ruang persekolahan. Walau beliau lebih condong ke arah sistem asrama di mana among atau guru berada satu komplek dengan murid, dan murid fokus belajar mandiri tanpa orang tua, keadaan saat itu dan juga konsep pendidikan eksperensial membuat beliau cukup lentur terhadap praktik guru yang berkunjung mengajar ke kampung-kampung dan juga bentuk pendidikan luar ruang lainnya.


Nah, demikian filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang sampai saat ini masih dirindukan untuk dirasakan di dalam sekolah-sekolah di Indonesia. Ketika setiap sekolah di Indonesia mampu mempraktikkan pendidikan yang konstruktif dan berbasis pengalaman langsung dalam aspek KBM barulah kita layak berkata kita telah menghormati KHD sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Penulis: Jan Wiguna

Lainya untuk Anda